Pendidikan Keagamaan, Pemberdayaan dan
Peran Serta Masyarakat
Oleh:
Andi
Fadhilah A.Natsir, S.Pd.I, MA
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan persoalan penting bagi semua umat. Pendidikan
selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Karena pendidikan merupakan
alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat, dan membuat generasi
mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka.
Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat (1)
disebutkan bahwa :
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif,
tentunya dibutuhkan wadah agar peserta didik dapat mengembangkan potensi
dirinya dengan baik. Berdasarkan hal
tersebut maka dibuatlah lembaga pendidikan.
Lembaga
pendidikan merupakan
hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan proses pendidikan karena
lembaga berfungsi sebagai mediator dalam mengatur jalannya pendidikan.[2]
Lembaga
pendidikan dewasa ini juga sangat mutlak keberadaannya bagi kelancaran proses
pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan itu dikaitkan dengan konsep islam yang disebut dengan lembaga pendidikan Islam atau
pendidikan keagamaan.
Dalam UU
No20 Tahun 2003 sisdiknas tentang pendidikan keagamaan pasal 30 :[3]
1)
Pendidikan
keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama sesuai dengan perundang-undangan.
2)
Pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nila-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli
agama.
3)
Pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal.
4)
Pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaya samena,
dan bentuk lain yang sejenis.
5)
Ketentuan mengenai
pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam UU tersebut, telah dipaparkan
dengan jelas penyelenggara, fungsi, dan bentuk pendidikan keagamaan. Fungsi pendidikan keagamaan ini sejalan
dengan tujuan pendidikan nasional yakni menciptakan peserta didik yang berakhlak
mulia sehingga pendidikan keagamaan dan pendidikan umum itu dianggap
setara. Namun masih banyak masyarakat
yang berbeda pandangan. Untuk itu akan
dibahas lebih lanjut mengenai pendidikan keagamaan dalam hal ini ialah pondok
pesantren dan madrasah.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar
belakang masalah yang telah dipaparkan ialah :
a.
Bagaimana perkembangan
pondok pesantren dan madrasah ?
b.
Bagaimana pemberdayaan
peran serta masyarakat dalam pendidikan keagamaan ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan Keagamaan
1.
Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah lembaga
pendidikan yang telah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat,
kegiatan pendidikannya memadukan tiga unsur pendidikan yang amat penting, yaitu
ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu dan amal untuk
mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Selanjutnya
pondok pesantren sering diberikan batasan sebagai berikut : Pondok Pesantren
adalah lembaga pendidikan Islam yang minimal terdiri dari 4 unsur, yaitu : 1)
kyai/Syaikh/Ustadz, (2) santri, (3) masjid, (4) pondok/asrama.[5] Jika salah satunya tidak ada, maka tidak dapat dikatakan
pondok pesantren.
Pondok pesantren adalah suatu pendidikan
dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut
diberikan dengan cara nonklasikal, tetapi dengan sistem bandongan dan sorogan. Dimana setiap kyai mengajar santri – santri
berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar
abad pertengahan sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama
dalam pesantren tersebut.[6] Jadi,
pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang lebih menekankan
pendidikan agama Islam dengan sistem bandongan dan sorogan sebagai ciri
khasnya.
Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan
eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang terdapat, yaitu di dalamnya
didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok
pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka inovasi
terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:[7]
a. Mulai akrab dengan metodelogi modern.
b. Semakin berorientasi pada pendidikan yang fungsional, artinya
terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
c. Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan
ketergantungannya dengan kiai tidak absolute, dan sekaligus dapat membekali
para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun
keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
d. Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Di pihak lain, pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur,
sistem dan nilai. Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah
berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas
kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini,
sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis,
misalnya:[8]
a. perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau serogan menjadi
sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah);
b. pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan
agama dan bahasa arab;
c. bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya
keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar,
kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan
olahraga, serta kesenian yang islami;
d. lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda
tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya
sama dengan ijazah negeri.
Berdasarkan hal tersebut, maka pondok
pesantren yang dahulunya dianggap kuno, saat ini akan banyak diminati
masyarakat untuk mengembangkan ilmu agama islam.
2.
Madrasah
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang
berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya,
madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan.
Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada
ilmu pengetahuan pada umumnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata
di seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di
dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.[9]
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya
mempunyai empat latar belakang, yaitu:[10]
a.
sebagai
manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam;
b. usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem
pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang
sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan
perolehan ijazah;
c. adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya
santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka; dan
d. sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan
tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari
hasil akulturasi.
Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi proses
perkembangan madrasah kepada tiga fase.
Fase pertama, madrasah pada periode ini adalah dibatasi dengan
pengertian yang tertulis pada
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama Nomor 7
Tahun 1950, yaitu madrasah mengandung makna :[11]
a.
Tempat pendidikan
yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam
menjadi pokok pengajarannya.
b.
Pondok dan
pesantren yang memberikan pendidikan setingkat dengan madrasah.
Yang menjadi konsentrasi utama madrasah
pada fase ini adalah pengembangan ilmu-ilmu agama, sehingga ruang gerak lebih
terbatas baik dari segi melanjutkan pelajaran maupun lapangan kerja.
Fase kedua, adalah Madrasah Surat
Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 1975. Pada fase ini telah terjadi perubahan
orientasi madrasah dari lembaga yang konsentrasi keilmuannya dalam bidang agama
, berubah menjadi konsentrasinya pada bidang pengetahuan umum. Batasan madrasah SKB Tiga Menteri adalah
“lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai dasar
yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.[12]
Dalam Surat Keputusan bersama Tiga Menteri
Tahun 1975 dicantumkan tujuan peningkatan adalah :[13]
a.
Ijazah madrasah
dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
b.
Lulusan madrasah
dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
c.
Siswa madrasah
dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Berdasarkan keputusan tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa kedudukan madrasah telah setara dengan sekolah umum yang
setingkat.
Fase ketiga adalah fase madrasah setelah
Undang-Undang No.2 Tahun 1989, madrasah pada periode ini disebut sebagai
sekolah yang berciri khas Islam.
Pengertiannya bahwa seluruh programnya sama dengan sekolah yang ditambah
dengan mata pelajaran agama Islam sebagai ciri keislamannya. Pada tingkat menengah disebut, madrasah
Aliyah sama dengan sekolah menengah yang berciri khas agama Islam. [14]
Pada fase ini madrasah dan sekolah umum
memiliki program yang sama, tetapi madrasah tetap bercirikan keislamannya yakni
lebih menonjolakn pelajaran agama Islam.
Menurut Abuddin Nata,
khususnya di Indonesia dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah jauh
lebih kompleks dibandingkan dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan
madrasah di negara lain. Selain terdapat madrasah diniyah yang kurikulumnya
terdiri dari mata pelajaran agama: Al-quran, al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah
Akhlak, Sejarah Islam dan bahasa Arab juga terdapat madrasah sebagai sekolah
umum yang berciri khas agama, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah. Madrasah Diniyah dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan dan
pemahaman terhadap materi agama yang kuat, dan hanya berlangsung hingga kelas
empat. Adapun madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama
dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan (riligiusitas) bagi para pelajar
yang nantinya akan menekuni bidang keahlian sesuai dengan pilihannya. Di antara madrasah tersebut sebagian besar rata-rata lebih dari 80%
berstatus swasta, sedangkan sisanya berstatus madrasah negeri.[15]
Madrasah mengalami
perkembangan yang cukup lama dengan beberapa perubahan baik dalam kurikulum
maupun metode pembelajran namun tetap tidak menghilangkan ciri khas yang
dimilikinya.
B.
Pemberdayaan dan Peran Serta Masyarakat Dalam
Pendidikan Keagamaan
Untuk
meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan dalam pendidikan keagamaan, dalam hal
ini adalah pondok pesantren dan madrasah, maka diperlukan adanya pemberdayaan
mulai dari:
1. Pemberdayaan manajemen, meliputi pemebrdayaan
SDM, manusia pengelola pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi,
pengawas, dan lain sebagainya dan siap memasuki era manajemen berbasis sekolah.
2. Pemberdayaan sistem, dari sistem top down ke
bottom up atau sentralisasi ke desentralisasi.
3. Pemberdayaan kebijakan, dari kebijakan yang
memarjinalkan pendidikan keagamaan kepada kebijakan yang membawa pendidikan
keagamaan ke center.
4. Pemberdayaan masyarakat, melibatkan
unsur-unsur masyarakat untuk ikut serta dalam pemberdayaan pendidikan keagamaan
tersebut.
Secara
historis, pertumbuhan dan perkembangan pendidikan keagamaan baik pondok
pesantren maupun madrasah tidak dapat dilepaskan
oleh peran serta masyarakat baik pada saat perintisan, pemeliharaan maupun
dalam perkembangannya. Masyarakat adalah pelaku faktor terpenting dalam
pendidikan dan merupakan lingkungan luas yang mempresentasikan akidah, akhlak
serta nilai-nilai dalam prinsip yang telah ditentukan. Karena
manusia adalah makhluk sosial, berpengaruh pada orang lain dan mendapatkan
pengaruh dari orang lain. Meskipun
pengaruh masyarakat tidak terjadi secara langsung, tetapi ia berpengaruh dan
menjadi pelaksana yang bergantung pada inspirasi serta mewajibkan faktor-faktor
kejiwaan pada individu untuk beradaptasi dengan masyarakat tanpa menjadi
benteng yang menghalangi dan mencegahnya terseret arusnya yang deras. Dalam
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab XV tertuang tentang
Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan pada bagian kesatu Pasal 54.
Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) 1993 pada sektor pendidikan yang diselenggarakan menyebutkan bahwa “perguruan swasta sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional terus ditingkatkan pembinaannya agar lebih beperan dan bertanggung jawab dalam upaya meningkatkan kualitas serta perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dengan tetap mengindahkan ciri khas serta memnuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hubungan itu peran serta masyarakat menuntut diciptakannya atas dasar hubungan yang sama sebagai mitra pemerintah di dalam meyelenggarakan pendidikan dalam rangka memupuk kesadaran atas kewajiban mengabdi kepada bangsa dan negara.[16]
Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) 1993 pada sektor pendidikan yang diselenggarakan menyebutkan bahwa “perguruan swasta sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional terus ditingkatkan pembinaannya agar lebih beperan dan bertanggung jawab dalam upaya meningkatkan kualitas serta perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dengan tetap mengindahkan ciri khas serta memnuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hubungan itu peran serta masyarakat menuntut diciptakannya atas dasar hubungan yang sama sebagai mitra pemerintah di dalam meyelenggarakan pendidikan dalam rangka memupuk kesadaran atas kewajiban mengabdi kepada bangsa dan negara.[16]
Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan
seluas-luasnya untuk berperan serta dalam menyelenggarakan pendidikan
nasional. Pengakuan dan pemberian
tanggung jawab kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan perlu
dikembangkan secara efektif dan proporsional.[17]
Walaupun penyelenggaraan
madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, merupakan satuan dan
kegiatan pendidikan yang menjadi tanggungjawab bersama antara keluarga,
masyarakat, dan pemerintah.[18]
Sementara
itu, masyarakat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan sesuai dengan ciri
atau kekhususan masing-masing sepanjang ciri itu tidak bertentangan dengan
Pancasila sebagai Dasar Negara pandangan hidup bangsa dan ideologi bangsa dan
negara.[19]
Perkembangan
madrasah yang umumnya diselenggarakan oleh masyarakat dan menampung anak-anak
dari kalangan masyarakat yang kurang mampu masih terus menghadapi kesulitan,
utamanya soal dana, biaya operasinya mengenai kekurangan tenaga
kependidikan. Ditambah lagi peran masyarakat
untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun yang memerlukan langkah-langkah untuk
pemerataan dan tetap mengusahakan kualitas atau mutu pendidikan yang semakin
baik.[20]
Anggapan
dasar yang berkembang sementara ini adalah bahwa madrasah negeri yang dikelola
oleh pemerintah umumnya dianggap kualitasnya lebih baik dibanding dengan
madrasah swasta yang dikelola oleh masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah dengan berbagai kebijaksanaannya berusaha
menjadikan madrasah negeri sebagai standar kualitas bagi madrasah swasta
dilingkungannya. Namun hal tersebut
kurang efektif karena jumlah madrasah negeri lebih sedikit dibanding madrasah
negeri untuk itu, pemerintah memberikan status kepada madrasah swasta dalam
rangka bimbingan pembinaan dorongan agar masyarakat yang mengelola madrasah
diberikan kesempatan untuk mengembangkan sesuai dengan cita-cita dan tujuan
nasional dengan tetap menunjukkan ciri khas yang bersangkutan. Untuk itulah
akreditasi terhadap madrasah ataupun pendidikan keagamaan yang sejenis
dibutuhkan.
Pendidikan keagamaan itu dibuat oleh dan
untuk masyarakat, sehingga diperlukan adanya kerjasama yang baik degan
pemerintah, masyarakat sekitar untuk meningkatkan tanggungjawab dan kemajuan
kelembagaan pendidikan tersebut.
III.
KESIMPULAN
1.
Pondok pesantren
adalah suatu pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan
dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara nonklasikal, yaitu dengan sistem bandongan dan sorogan. Namun seiring
perkembangannya, sistem pendidikan tersebut telah berubah menjadi lebih modern
(klasikal) sehingga pondok pesantren lebih banyak diminati oleh masyarakat.
Madrasah merupakan salah satu pendidikan keagamaan yang
perkembangannya mengalami 3 fase, mulai dari fase pertama yakni madrasah masih
berkonsentrasi kepada pengajaran ilmu-ilmu agama, fase kedua yakni disamakannya
ijazah madrasah dengan sekolah pada umumnya, kemudian fase ketiga yakni
madrasah dianggap sebagai sekolah yang bercirikhaskan agama Islam.
2.
Untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan keagamaan baik pesantren
maupun madrasah dibutuhkan adanya pemberdayaan, mulai dari pemberdayaan
manajemen, sistem, kebijakan, hingga masyarakatnya.
Perkembangan dan pertumbuhan pendidikan keagamaan baik ponpes maupun
madrasah tidak lepas dari peran serta masyarakat. Untuk itu masyarakat diberikan kesempatan
untuk meyelenggarakan pendidikan keagamaan tersebut sepanjang tidak
menghilangkan ciri khasnya dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Masyarakat hendaknya juga mendukung program-program
pemerintah yang dapat memajukan kualitas pendidikan karena pendidikan adalah
tanggungjawab bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Haidar Putra.2004.Penddidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan
Nasional Indonesia.Jakarta : Kencana
Fahrurrozi,dkk.2012.Makalah Lembaga
Pendidikan Islam.Mataram : IAIN Mataram
Mujib,
Abdul dan Jusuf Mudzakkir.2008. Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Kencana
Raharjo, Dawam.1983.Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan.Jakarta
: LP3ES
Shaleh, Abdul Rachman.2000.Pendidikan Agama dan Keagamaan.Jakarta :
PT.Gemawindu Pancaperkasa
------------------------------.2005.Agama
dan Pembangunan Watak Bangsa.Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada
[1] Abdul Rachman Shaleh,
Pendidikan Agama dan Pembangunan watak bangsa, Ed .1, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2005), h.37
[3] Haidar Putra Daulay, Penddidikan
Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, Cet 1, (Jakarta : Kencana, 2004), h.14-15.
[4]Abdul
Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan
Keagamaan, Cet.1, (Jakarta : PT.Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h. 117
[6]Dawam
Raharjo, Dunia Pesantren dalam Peta
Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1983), h.6
[7]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. ke-2, (Jakarta: Kencana, 2008), h.237
[8]Ibid.,
[15]Abuddin
Nata, Op. Cit., h. 201.
[16]Abdul
Rachman Shaleh, Op.Cit., h.159