Rabu, 18 Februari 2015

Pendidikan Keagamaan, Pemberdayaan, dan Peran Serta Masyarakat



Pendidikan Keagamaan, Pemberdayaan dan
Peran Serta Masyarakat
Oleh:
Andi Fadhilah A.Natsir, S.Pd.I, MA

 I.         PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
       Pendidikan merupakan persoalan penting bagi semua umat.  Pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Karena pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat, dan membuat generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka.
       Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1]

Untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif, tentunya dibutuhkan wadah agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya dengan baik.  Berdasarkan hal tersebut maka dibuatlah lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan proses pendidikan karena lembaga berfungsi sebagai mediator dalam mengatur jalannya pendidikan.[2]
Lembaga pendidikan dewasa ini juga sangat mutlak keberadaannya bagi kelancaran proses pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan itu dikaitkan dengan konsep islam yang disebut dengan lembaga pendidikan Islam atau pendidikan keagamaan.
       Dalam UU No20 Tahun 2003 sisdiknas tentang pendidikan keagamaan pasal 30 :[3]
1)      Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan perundang-undangan.
2)      Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nila-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli agama.
3)      Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
4)      Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaya samena, dan bentuk lain yang sejenis.
5)      Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
       Dalam UU tersebut, telah dipaparkan dengan jelas penyelenggara, fungsi, dan bentuk pendidikan keagamaan.  Fungsi pendidikan keagamaan ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yakni menciptakan peserta didik yang berakhlak mulia sehingga pendidikan keagamaan dan pendidikan umum itu dianggap setara.  Namun masih banyak masyarakat yang berbeda pandangan.  Untuk itu akan dibahas lebih lanjut mengenai pendidikan keagamaan dalam hal ini ialah pondok pesantren dan madrasah.
B.     Rumusan Masalah
       Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan ialah :
a.       Bagaimana perkembangan pondok pesantren dan madrasah ?
b.      Bagaimana pemberdayaan peran serta masyarakat dalam pendidikan keagamaan ?
    II.            PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Keagamaan 
1.      Pondok Pesantren
       Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang telah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, kegiatan pendidikannya memadukan tiga unsur pendidikan yang amat penting, yaitu ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.[4]  
        Selanjutnya pondok pesantren sering diberikan batasan sebagai berikut : Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang minimal terdiri dari 4 unsur, yaitu : 1) kyai/Syaikh/Ustadz, (2) santri, (3) masjid, (4) pondok/asrama.[5] Jika salah satunya tidak ada, maka tidak dapat dikatakan pondok pesantren.
       Pondok pesantren adalah suatu pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara nonklasikal, tetapi dengan sistem bandongan dan sorogan.  Dimana setiap kyai mengajar santri – santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar abad pertengahan sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.[6] Jadi, pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang lebih menekankan pendidikan agama Islam dengan sistem bandongan dan sorogan sebagai ciri khasnya.
       Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang terdapat, yaitu di dalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka inovasi terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:[7]

a.       Mulai akrab dengan metodelogi modern.
b.      Semakin berorientasi pada pendidikan yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
c.       Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya dengan kiai tidak absolute, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
d.      Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
       Di pihak lain, pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai.  Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:[8]
a.       perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah);
b.      pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab;
c.       bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang islami;
d.      lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
       Berdasarkan hal tersebut, maka pondok pesantren yang dahulunya dianggap kuno, saat ini akan banyak diminati masyarakat untuk mengembangkan ilmu agama islam.
2.      Madrasah
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan. Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan pada umumnya.  Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.[9]
       Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu:[10]
a.       sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam;
b.      usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah;
c.       adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka; dan
d.      sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi proses perkembangan madrasah kepada tiga fase.  Fase pertama, madrasah pada periode ini adalah dibatasi dengan pengertian yang tertulis pada Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama Nomor 7 Tahun 1950, yaitu madrasah mengandung makna :[11]
a.       Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya.
b.      Pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan setingkat dengan madrasah.
       Yang menjadi konsentrasi utama madrasah pada fase ini adalah pengembangan ilmu-ilmu agama, sehingga ruang gerak lebih terbatas baik dari segi melanjutkan pelajaran maupun lapangan kerja.
     Fase kedua, adalah Madrasah Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 1975.  Pada fase ini telah terjadi perubahan orientasi madrasah dari lembaga yang konsentrasi keilmuannya dalam bidang agama , berubah menjadi konsentrasinya pada bidang pengetahuan umum.  Batasan madrasah SKB Tiga Menteri adalah “lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.[12]
        Dalam Surat Keputusan bersama Tiga Menteri Tahun 1975 dicantumkan tujuan peningkatan adalah :[13]
a.       Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
b.      Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
c.       Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
       Berdasarkan keputusan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan madrasah telah setara dengan sekolah umum yang setingkat.
       Fase ketiga adalah fase madrasah setelah Undang-Undang No.2 Tahun 1989, madrasah pada periode ini disebut sebagai sekolah yang berciri khas Islam.  Pengertiannya bahwa seluruh programnya sama dengan sekolah yang ditambah dengan mata pelajaran agama Islam sebagai ciri keislamannya.  Pada tingkat menengah disebut, madrasah Aliyah sama dengan sekolah menengah yang berciri khas agama Islam. [14]
       Pada fase ini madrasah dan sekolah umum memiliki program yang sama, tetapi madrasah tetap bercirikan keislamannya yakni lebih menonjolakn pelajaran agama Islam.
       Menurut Abuddin Nata, khususnya di Indonesia dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah di negara lain. Selain terdapat madrasah diniyah yang kurikulumnya terdiri dari mata pelajaran agama: Al-quran, al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam dan bahasa Arab juga terdapat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah.  Madrasah Diniyah dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan dan pemahaman terhadap materi agama yang kuat, dan hanya berlangsung hingga kelas empat.  Adapun madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan (riligiusitas) bagi para pelajar yang nantinya akan menekuni bidang keahlian sesuai dengan pilihannya.  Di antara madrasah tersebut sebagian besar rata-rata lebih dari 80% berstatus swasta, sedangkan sisanya berstatus madrasah negeri.[15]
       Madrasah mengalami perkembangan yang cukup lama dengan beberapa perubahan baik dalam kurikulum maupun metode pembelajran namun tetap tidak menghilangkan ciri khas yang dimilikinya.
B.     Pemberdayaan dan Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan Keagamaan
       Untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan dalam pendidikan keagamaan, dalam hal ini adalah pondok pesantren dan madrasah, maka diperlukan adanya pemberdayaan mulai dari:
1.      Pemberdayaan manajemen, meliputi pemebrdayaan SDM, manusia pengelola pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain sebagainya dan siap memasuki era manajemen berbasis sekolah.
2.      Pemberdayaan sistem, dari sistem top down ke bottom up atau sentralisasi ke desentralisasi.
3.      Pemberdayaan kebijakan, dari kebijakan yang memarjinalkan pendidikan keagamaan kepada kebijakan yang membawa pendidikan keagamaan ke center.
4.      Pemberdayaan masyarakat, melibatkan unsur-unsur masyarakat untuk ikut serta dalam pemberdayaan pendidikan keagamaan tersebut.
       Secara historis, pertumbuhan dan perkembangan pendidikan keagamaan baik pondok pesantren maupun madrasah tidak dapat dilepaskan oleh peran serta masyarakat baik pada saat perintisan, pemeliharaan maupun dalam perkembangannya. Masyarakat adalah pelaku faktor terpenting dalam pendidikan dan merupakan lingkungan luas yang mempresentasikan akidah, akhlak serta nilai-nilai dalam prinsip yang telah ditentukan.  Karena manusia adalah makhluk sosial, berpengaruh pada orang lain dan mendapatkan pengaruh dari orang lain.  Meskipun pengaruh masyarakat tidak terjadi secara langsung, tetapi ia berpengaruh dan menjadi pelaksana yang bergantung pada inspirasi serta mewajibkan faktor-faktor kejiwaan pada individu untuk beradaptasi dengan masyarakat tanpa menjadi benteng yang menghalangi dan mencegahnya terseret arusnya yang deras.  Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab XV tertuang tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan pada bagian kesatu Pasal 54.
     Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN)  1993 pada sektor pendidikan yang diselenggarakan menyebutkan bahwa “perguruan swasta sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional terus ditingkatkan pembinaannya agar lebih beperan dan bertanggung jawab dalam upaya meningkatkan kualitas serta perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dengan tetap mengindahkan ciri khas serta memnuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.  Dalam hubungan itu peran serta masyarakat menuntut diciptakannya atas dasar hubungan yang sama sebagai mitra pemerintah di dalam meyelenggarakan pendidikan dalam rangka memupuk kesadaran atas kewajiban mengabdi kepada bangsa dan negara.[16]
       Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam menyelenggarakan pendidikan nasional.  Pengakuan dan pemberian tanggung jawab kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan perlu dikembangkan secara efektif dan proporsional.[17]
       Walaupun penyelenggaraan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, merupakan satuan dan kegiatan pendidikan yang menjadi tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.[18]
       Sementara itu, masyarakat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing sepanjang ciri itu tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai Dasar Negara pandangan hidup bangsa dan ideologi bangsa dan negara.[19]
       Perkembangan madrasah yang umumnya diselenggarakan oleh masyarakat dan menampung anak-anak dari kalangan masyarakat yang kurang mampu masih terus menghadapi kesulitan, utamanya soal dana, biaya operasinya mengenai kekurangan tenaga kependidikan.  Ditambah lagi peran masyarakat untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun yang memerlukan langkah-langkah untuk pemerataan dan tetap mengusahakan kualitas atau mutu pendidikan yang semakin baik.[20]
       Anggapan dasar yang berkembang sementara ini adalah bahwa madrasah negeri yang dikelola oleh pemerintah umumnya dianggap kualitasnya lebih baik dibanding dengan madrasah swasta yang dikelola oleh masyarakat.  Oleh karena itu, pemerintah dengan berbagai kebijaksanaannya berusaha menjadikan madrasah negeri sebagai standar kualitas bagi madrasah swasta dilingkungannya.  Namun hal tersebut kurang efektif karena jumlah madrasah negeri lebih sedikit dibanding madrasah negeri untuk itu, pemerintah memberikan status kepada madrasah swasta dalam rangka bimbingan pembinaan dorongan agar masyarakat yang mengelola madrasah diberikan kesempatan untuk mengembangkan sesuai dengan cita-cita dan tujuan nasional dengan tetap menunjukkan ciri khas yang bersangkutan. Untuk itulah akreditasi terhadap madrasah ataupun pendidikan keagamaan yang sejenis dibutuhkan.
       Pendidikan keagamaan itu dibuat oleh dan untuk masyarakat, sehingga diperlukan adanya kerjasama yang baik degan pemerintah, masyarakat sekitar untuk meningkatkan tanggungjawab dan kemajuan kelembagaan pendidikan tersebut.
 III.            KESIMPULAN
1.      Pondok pesantren adalah suatu pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara nonklasikal, yaitu dengan sistem bandongan dan sorogan.  Namun seiring perkembangannya, sistem pendidikan tersebut telah berubah menjadi lebih modern (klasikal) sehingga pondok pesantren lebih banyak diminati oleh masyarakat.
Madrasah merupakan salah satu pendidikan keagamaan yang perkembangannya mengalami 3 fase, mulai dari fase pertama yakni madrasah masih berkonsentrasi kepada pengajaran ilmu-ilmu agama, fase kedua yakni disamakannya ijazah madrasah dengan sekolah pada umumnya, kemudian fase ketiga yakni madrasah dianggap sebagai sekolah yang bercirikhaskan agama Islam.
2.      Untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan keagamaan baik pesantren maupun madrasah dibutuhkan adanya pemberdayaan, mulai dari pemberdayaan manajemen, sistem, kebijakan, hingga masyarakatnya.
Perkembangan dan pertumbuhan pendidikan keagamaan baik ponpes maupun madrasah tidak lepas dari peran serta masyarakat.  Untuk itu masyarakat diberikan kesempatan untuk meyelenggarakan pendidikan keagamaan tersebut sepanjang tidak menghilangkan ciri khasnya dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.  Masyarakat hendaknya juga mendukung program-program pemerintah yang dapat memajukan kualitas pendidikan karena pendidikan adalah tanggungjawab bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Haidar Putra.2004.Penddidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.Jakarta : Kencana
Fahrurrozi,dkk.2012.Makalah Lembaga Pendidikan Islam.Mataram : IAIN Mataram
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir.2008. Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Kencana
Raharjo, Dawam.1983.Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan.Jakarta : LP3ES
Shaleh, Abdul Rachman.2000.Pendidikan Agama dan Keagamaan.Jakarta : PT.Gemawindu Pancaperkasa
------------------------------.2005.Agama dan Pembangunan Watak Bangsa.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada






   







[1] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan watak bangsa, Ed .1, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,  2005),  h.37
[2]Fahrurrozi,dkk , Makalah Lembaga Pendidikan Islam, (Mataram : IAIN Mataram, 2012), h.1  
[3] Haidar Putra Daulay, Penddidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia,  Cet 1, (Jakarta : Kencana, 2004), h.14-15.
[4]Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Cet.1, (Jakarta : PT.Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h. 117
[5] Ibid.,
[6]Dawam Raharjo, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1983), h.6
[7] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. ke-2, (Jakarta: Kencana, 2008), h.237
[8]Ibid.,
[9]Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 199.
[10]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit, h.241
[11]Haidar Putra Daulay, Op., Cit., h.47
[12]Ibid., h.48
[13]Ibid.,
[14]Ibid.,  
[15]Abuddin Nata, Op. Cit., h. 201.
[16]Abdul Rachman Shaleh, Op.Cit., h.159
[17]Ibid., h. 160
[18]Ibid., h.161
[19]Ibid.,
[20]Ibid.,