Kamis, 22 Desember 2011

Kemunduran Dinasti Bani Umayyah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dinasti/Daulah Bani Umayyah merupakan dinasti pertama yang memerintah Islam setelah masa Khulafa’ur Rasyidin, mereka disebut dengan Bani Umayyah disandarkan pada kakek mereka yang bernama Umayyah.
Daulah Bani Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi dan sosial. hal ini didukung oleh pengalaman politik Muawiyah sebagai Bapak pendiri Daulah tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan miring tentang pemerintahannya.[1]
Kekuasaan Daulah Umayyah dapat bertahan karena ditopang oleh paham kesukuan yang muncul sejak terjadinya tragedi terbunuhnya Utsman. Kekuasaaan Daulah Umayyah ini selalu membawa bendera suku Quraisy yang tidak dapat dilepaskan. Dan didukung pula adanya pribadi yang tangguh dalam menghadapi berbagai kekacauan yang terjadi dan dapat mengontrol wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan. Pemerintahan ini juga mampu memposisikan paham kekuasaan absolut dalam batas yang masih terkontrol. Hal ini didukung oleh makin koopratifnya kelompok Islam yang lain terhadap pemerintah. Sedangkan dalam kehidupan sosial, kekuatan yang berpaham keislaman yang pada masa Ali berlawanan dengan paham kesukuan, pada masa Daulah Umayyah justru berpaling mendukung Mu`awiyah. Hal ini disebabkan karena Daulah Umayyah tidak menampakkan permusuhan dengan paham-paham keislaman, yang sesungguhnya merupakan strategi penguasa untuk menghindari terjadinya kekacauan akibat berkembangnya paham kesukuan.[2]
Namun berdirinya Daulah Umayyah (661-750) tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun mengandung banyak implikasi, di antaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam.[3]
Dari berbagai kemajuan yang dicapai Daulah Bani Umayyah, ternyata tidak mampu membuat Daulah tersebut bertahan lama, bahkan ia akhirnya jatuh menyisakan puing-puing kehancuran setelah munculnya kekuatan baru dari Bani Abbasiyah.
B.     Rumusan Masalah         
Adapun rumusan masalah dari latar belakang masalah yang dikemukakan, yakni :
1.      Apa faktor-faktor kemunduran Daulah Bani Umayyah ?
2.      Apa sebab-sebab kehancuran Daulah Bani Umayyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kemunduran Daulah Bani Umayyah
Mu’awiyah mendirikan Daulah Umayyah pada tahun 41 H di Damaskus, dengan berdirinya pusat pemerintahan Islam yang baru tersebut berarti bergeserlah pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damaskus. Perpindahan ibu kota tersebut terjadi melalui proses yang panjang didukung oleh strategi politik yang dibangun oleh Mu`awiyah. Dan Mu`awiyah memperoleh pengalaman politik dalam masa yang cukup lama, yakni mulai masa Rasulullah SAW sampai masa khalifah yang terakhir.[4]
Dengan berdirinya Daulah Umayyah, maka sistem politik dan pemerintahan berubah. Pemerintahan khalifah tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian khalifah-khalifah sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun-temurun melalui pemilihan, seorang khalifah tidak lagi harus sekaligus pemimipin agama sebagimana khalifah-khalifah sebelumnya. Urusan agama diserahkan kepada para ulama, dan ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh khalifah.[5]
Selama masa pemerintahan dan kekuasaan khalifah pertama (Mu`awiyah), Daulah Umayyah banyak mencapai keberhasilan, terutama penaklukan sejumlah kota penting di kawasan Asia Tengah, seperti Kabul, Heart dan Gazna. Dalam pemerintahan, ia mendirikan beberapa departemen yang mengurus masalah-masalah kepentingan umat, seperti pelayanan pos, pembagian tugas pemerintahan pusat dan daerah, pemungutan pajak dan pengangkatan gubernur-gubernur di daerah.  Ia juga berjasa mendirikan Kantor Cap (percetakan mata uang).
Masa kekuasaan Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah pertama adalah Muawiyah Bin Abi Sufyan, sedangakan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad.  Diantara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah.  Adapun urutan khalifah Daulah Umayyah adalah sebagai berikut:
1.      Mu`awiyah I bin Abi Sufyan ( 41-60H/661-679M )
2.      Yazid I bin Muawiyah ( 60-64H/679-683M ))
3.      Muawiyah II bin Yazid ( 64H/683M )
4.      Marwan I bin Hakam ( 64-65H/683-684M )
5.      Abdul Malik bin Marwan ( 65-86H/684-705M )
6.      Al-Walid I bin Abdul Malik ( 86-96H/705-714M )
7.      Sulaiman bin Abdul Malik ( 96-99H/714-717M )
8.      Umar bin Abdul Aziz ( 99-101H/717-719M )
9.      Yazid II bin Abdul Malik ( 101-105H/719-723M )
10.  Hisyam Bin Abdul Malik ( 105-125H/723-742M )
11.  Al-Walid II bin Yazid II ( 125-126H/742-743M )
12.  Yazid bin Walid bin Malik ( 126H/743M )
13.  Ibrahim bin Al-Walid II ( 126-127H/743-744M )
14.  Marwan II bin Muhammad ( 127-132H/744-750M ). [6]
Para sejarawan umumnya sependapat bahwa para khalifah terbesar dari Daulah Bani Umayyah ialah Muawiyah, Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.[7]
Untuk memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi kepemimpinan, sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah sebelumnya, Mu`awiyah mencalonkan putranya, Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukanya jika ia meninggal, pencalonan tersebut dilakukannya pada tahun 679M.
Namun rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak, terutama pemuka-pemuka masyarakat hijaz, seperti Abdullah bin Umar, Abdul Rahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas. Penolakan mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah yang diangkat tidak melalui penunjukan, melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang pernah diperaktekkan oleh khalifah-khalifah sebelumnya.[8]
Setelah Muawiyah wafat, Daulah ini harus berusaha keras mempertahankan posisinya yang goyah, kondisi politik tidak stabil, banyak kelompok masyarakat yang tidak puas dengan raja baru yang sebelumnya telah dinobatkan sebagai putera mahkota. Pengangkatan putera mahkota ini mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dari kalangan sipil yang menyebabkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkepanjangan.
Maka setelah Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia terhadapnya meskipun pada akhirnya terpaksa tunduk juga, kecuali Husain Ibn Ali dan Abdullah Ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsilidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husain Ibn Ali pada tahun 680 M, namun tentara Husain kalah dan dia sendiri terbunuh dalam pertempuran yang tidak seimbang, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya di kubur di Karbala.[9]
Perlawanan kaum Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husain, bahkan mereka menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah terjadi, diantaranya terjadinya pemberontakan Mukhtar di Kufah yang mendapat dukungan dari kaum Mawali pada tahun 685-687 M.[10]
Selain itu Bani Umayyah juga mendapat tantangan dari kaum Khawarij, dan meskipun gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan baik dari pihak syi`ah maupun dari khawarij dapat dipatahakan oleh Yazid tetapi tidak berarti menghentikan gerakan oposisi dalam pemerintahan Bani Umayyah.
Dan hubungan pemerintahan dan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-720). Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah, dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lainnya untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya, pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.[11] Tetapi sayang sekali angin kedamaian yang berhembus dari pesona kepemimpinan Umar yang adil dan bijaksana ini tidak berlangsung lama, hanya lebih kurang dua tahun memerintah kemudian beliau meninggal dunia. Penggantinya adalah Yazid Ibn Abd. Malik (720-724) Khalifah ini jauh berbeda dengan khalifah sebelumnya, ia terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan rakyat, sehingga kerusuhan terus berlangsung hingga masa pemerintahan Hisyam bin Abd. Malik (724-743). Bahkan dizaman ini mucul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahahn Bani Umayyah. kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini mampu menggulingkan Daulah Umayyah dan mengantinya dengan Daulah baru, yakni Daulah Bani Abbasiyyah.
Sepeninggal Hisyam bin Abd. Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani.[12] Marwan Bin Muhammad khalifah terakhir bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh disana.[13]
Dari berbagai kesuksesan dan kebesaran yang telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, akibat kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari fihak luar. Adapun hal-hal yang membawa kemunduran yang akhirnya berujung pada kejatuhan Bani Umayyah dapat diidentifikasikan antar lain sebagai berikut:
1.      Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut (Mudariyah) yang menempati Irak dan Arab Selatan (Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman  Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para khalifah cederung kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.
2.      Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu status yang menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan atas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
3.      Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum syi’ah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan  Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani Umayyah dalam memimpin umat.[14]



B. Kehancuran Daulah Bani Umayyah 
Secara Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginan mereka untuk memiliki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut islam baru, mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.[15]
Menurut Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah melemah dan membawanya kepada kehancuran, yaitu sebagai berikut :
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
2.      Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali.  Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.      Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah
4.      Lemahnya pemerintahan Daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.  Disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang
5.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori  oleh keturunan Al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[16]
Penyebab-penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Daulah Umayyah, dan berdirinya Daulah Abbasiyah.








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
*      Diantara faktor-faktor yang membawa Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran adalah sebagai berikut:
1.      Munculnya fanatisme kesukuan dalam suku-suku bangsa Arab
2.      Kuatnya pengaruh fanatisme golongan (Arabisme) yang memicu munculnya kecemburuan sosial dikalangan non Arab (Mawali)
3.      Adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga besar Bani Umayyah
4.      Larutnya beberapa penguasa (khalifah) dalam limpahan harta dan kekuasaan
*      Adapun faktor-faktor yang membawa Daulah Bani Umayyah ke gerbang kehancuran adalah sebagai berikut:
1.      Tidak adanya sistem pergantian pemerintah (khalifah) yang baku yang bisa dijadikan patokan dalam pergantian khalifah
2.      Kuatnya gerakan oposisi dari kaum Syi`ah dan Khawarij
3.      Perselisihan dan pertentangan etnis antara suku Arab yang mengakibatkan para penguasa mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan
4.      Sikap hidup yang mewah dilingkungan keluarga Bani Umayyah
5.      Perhatian penguasa Bani Umayyah terhadap perkembangan agama sangat kurang.


[1] Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, Minyingkap dinamika dan sejarah politik kaum sunni, Cet.II, ( Yogyakarta : Safria Insani Press, 2005), h. 11
[2]Ibid.,
[3] Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah , Cet.I, (Bandung : CV.Pustaka setia,  2004), h. 52
[4] Ensiklopedi Islam Vol. 3,Cet. XIII, (Jakarta : PT. Ichtiar Van Hove , 2003), h. 248
[5] Ibid., h.247
[6] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta : Amzah , 2010), h.121-122
[7]Ibid., h.122
[8] Ensiklopedi Islam, op.cit., h. 248
[9] Badri Yatim,  Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Cet. XII, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 45
[10]Ibid., h.46
[11]Ibid., h.47
[12]Ibid., h.48
[13]Ibid., h.47
[14]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Cet. II (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999 ), h. 72

[15] Adeng Muchtar Ghazali, op.cit., h. 56
[16]Badri Yatim, op.cit., h.49

Kamis, 15 Desember 2011

Fawatih As Suwar


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Permasalahan
       Al-Qur’an merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah Swt dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Hijr/15: 9 yang berbunyi :
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
Terjemahnya :
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharannya (Q.S. al-Hijr/15:9).[1]
Dengan jaminan ayat tersebut, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Qur’an saat ini tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah Saw dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat.
Al-Qur’an juga menjadi bukti kebenaran Rasulullah Saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap.[2] Pertama, menantang mereka untuk siapapun yang meragukannya untuk menyusun semacam al-Qur’an secara keseluruhan (Q.S. al-Tur/52: 34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam al-Qur’an (Q.S. Hud/11: 13). Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam al-Qur’an (Q.S. Yunus/10: 38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah saja dari al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah/2: 23). Dalam hal ini Allah Swt menegaskan dalam FirmanNya pada Q.S. al-Isra’/17: 88;
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ß§RM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù'tƒ È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw tbqè?ù'tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur šc%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ    
Terjemahnya :
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al- Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".[3]
      Walaupun al-Qur’an menjadi bukti kebenaran Rasulullah Saw, tapi fungsi utamanya adalah menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia. Sebagai petunjuk, Rasulullah Saw mendapat tugas untuk menjelaskan maksud dari ayat-ayat Allah Swt yang terkandung dalam al-Qur’an (Q.S. al-Nahl/16: 44). Namun harus digaris bawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Rasulullah Saw tentang arti ayat-ayat al-Qur’an tidak banyak yang kita ketahui, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan otensitasnya, tetapi juga karena Rasulullah Saw sendiri tidak menafsirkan semua ayat al-Qur’an.[4]
      Dari segi materi, terlihat bahwa ada ayat-ayat al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Swt atau oleh Rasulullah Saw bila beliau menerima penjelasan dari Allah Swt.[5]
      Termasuk dalam hal ini adalah huruf-huruf hijaiyah yang menjadi ayat-ayat pembuka surah setelah basmalah pada sebagian surah dalam al-Qur’an yang sering dikenal dengan istilah fawatih as-suwar. Beberapa ulama, ada yang berusaha menafsirkan makna dari huruf-huruf fawatih al-suwar ini, namun sebagian besar menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt yang mengetahui.
B.     Rumusan Masalah
       Adapun yang menjadi rumusan masalah dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas, yakni :
1.      Apakah pengertian Fawatih As-Suwar ?
2.      Bagaimana bentuk-bentuk Fawatih As-Suwar ?
3.      Bagaimana pandangan Ulama terhadap Fawatih As-Suwar ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fawatih As-Suwar
       Secara etimologi (bahasa) Fawatih As-Suwar (فواتح السور ) yang secara umum diartikan dengan pembuka surah terdiri dari dua kata, yaitu fawatih dan as-suwar.  Fawatih (   فواتح) yang berarti pembuka merupakan bentuk jamak dari kata fataha  ( فتح), yang berarti membuka.[6]  Sedangkan kata as-suwar (السور), berarti surah-surah, merupakan bentuk jamak dari as-suru’ yang berarti sisa air dalam bejana.[7]  Selain itu as-suwar adalah jamak taksir dari kata as-surah (ة السور ) yang berarti bagian dari Al-Qur’an yang dipisahkan dari bagian lainnya dan dibiarkan berdiri sendiri.[8]
       Sedangkan secara terminologi, fawatih as suwar menurut Ibn Abi al-Isba’  dalam kitab al Khawathir as-Shawanih fi asrar al-fawatih yang ditulisnya, dia menggunakan istilah al-Fawatih dengan arti jenis-jenis perkataan yang membuka surah-surah dalam al-Qur’an. Jenis-jenis perkataan itu dibagi menjadi sepuluh kelompok; salah satunya adalah huruf-huruf tahajji (dibaca dengan cara dieja), atau yang biasa kita sebut dengan al-fawatih. Sementara Sembilan jenis lainnya adalah pujian: pujian kepada Allah, baik tahmid maupun tasbih; nida’  (seruan); jumlah khabariyah (kalimat berita); qasam (sumpah); syarat, perintah, doa, dan ta’lil (alasan).[9]
             Fawatih As-Suwar adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surah, ia merupakan bagian dari ayat mutasyabihat. Di dalam al-Qur’an terdapat huruf-huruf awalan dalam pembuka surah dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu ciri kebesaran Allah dan kemahatahuan-Nya, sehingga kita terpanggil untuk menggali ayat-ayat tersebut. Dengan adanya suatu keyakinan bahwa semakin dikaji ayat al-Qur’an itu, maka semakin luas pengetahuan kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan. perkembangan ilmu tafsir yang kita lihat hingga sekarang ini.[10]
       Dari pengertian diatas maka dapat dipahami dari segi makna fawatih as-suwar berarti pembuka-pembuka surah. Sebagian Ulama ada yang mengidentikkan fawatih as-suwar dengan huruf al-muqatta'ah atau huruf-huruf yang terpisah dalam al-Qur'an.
B.     Bentuk-bentuk Fawatih As-Suwar
       Setelah basmalah, pada permulaan dua puluh Sembilan surah di dalam al-Qur’an terdapat satu atau sekelompok huruf hijaiyah yang biasanya dibaca sebagai huruf-huruf terpisah atau berdiri sendiri. Sejumlah nama lazimya digunakan untuk merujuk kepada huruf-huruf tersebut, seperti fawatih al-suwar (pembuka-pembuka surah), awail al-suwar (permulaan-permulaan surah), al-huruf al-muqatta’ah/at (huruf-huruf potong/terpisah), dan sebagainya. Sementara sebutan yang lazim digunakan sarjana Barat ketika merujuk pada huruf-huruf tersebut adalah “huruf-huruf misterius”.[11]
       Al Zarkasyi membagi fawatih as suwar ke dalam 10 macam, yakni :
1.      Pembukaan dengan pujian kepada Allah (al-istiftah bil al tsana). Pujian kepada Allah ada dua macam, yaitu :
a.       Menetapkan sifat-sifat terpuji dengan menggunakan salah satu lafal berikut :
1)      Memakai lafal hamdalah yakni dibuka dengan الحمد لله , yang terdapat dalam 5 surat yaitu : Q.S. Al Fatihah, Al An’am, Al Kahfi, Saba, dan Fathr.
2)      Memakai lafal تبارك, yang terdapat dalam 2 surat yaitu Q.S. Al Furqon dan Al Mulk.
3)      Mensucikan Allah dari sifat-sifat negatif (tanzih ‘an ssifatin naqshin) dengan menggunakan lafal tasbih terdapat dalam 7 surat yaitu : Q.S. Al Isra, al A’la, al Hadid, al Hasyr, as shaff, al jum’ah, dan at Taghabun.
2.      Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus-putus (Al Ahruful Muqaththa’ah), yakni terdapat dalam 29 surat dengan memakai 14 huruf tanpa diulang, yakni ا,ح,ر,س,ص,ط,ع,ق,ك,ل,م,ن,ه,ي . Penggunaan surat-surat tersebut dalam pembukaan surat-surat Al Qur’an disusun dalam 14 rangkaian, yang terdiri dari kelompok berikut :

a.       Awalan surah yang terdiri dari satu huruf, ini terdapat pada tiga surah.
Surah Shad ص , Surah Qaaf ق  ,Surah al-Qalam ن                                                                       
b.      Awalan surah yang terdiri dari dua huruf, ini terdapat pada sepuluh surah:
Surah al- Mukmin حمّ, Surah Fushshilat حم, Surah Asy Syuraحمّ , Surah Az Zukhruf   حمّ , Surah Ad Dukhan   حمّ , Surah Al Jatsyiah حمّ , Surah Al Ahqaf  حمّ , Surah Thaha طه  , Surah An Maml    طس , Surah Yasin  يس
Tujuh dari sepuluh di atas dinamakan hawwaamiim.[12]
c.       Awalan surah yang terdiri dari tiga huruf, ini terdapat pada tiga belas surah:
1)      Enam surah diawali Alif Lam Mim الم
Surah al- Baqarah, Surah al- Imran, Surah al- Ankabut, Surah Ar Rum, Surah al- Lukman, Surah as Sajadah
2)      Lima Surah diawali dengan Alif Lam Ra الر
Surah Yunus, Surah Hud, Surah Yusuf, Surah Ibrahim, Surah al-Hijr
3)      Dua surah yang diawali dengan Tha Sin Mim  طسم
Surah As Syu’araa, Surah al- Qashash
d.      Awalan surah yang terdiri dari empat huruf, ini terdapat pada dua tempat, yaitu: Surah al-A’raf المص , Surah Ar Ra’du المر
e.       Awalan surah yang terdiri dari lima huruf, ini hanya terdapat pada Surah Maryam .كهيعص

3.      Pembukaan dengan panggilan (al istiftah bin nida).
       Nida ini ada tiga macam, terdapat dalam 9 surat, yaitu nida untuk Nabi (النبي أيها يا ) yang terdapat dalam Q.S. Al Ahzab, At Tahrim dan At Thalaq. (المزمل ياأيها) dalam Q.S. al Muzammil dan term (المدثر ياأيها); nida untuk kaum mukminin dengan term امنوا الدين ياأيها  terdapat dalam Q.S. Al Maidah dan Al hujurat, dan nida untuk umat manusia ياأيهاالناس terdapat dalam Q.S. An Nisa dan Q.S. Al Hajj.
       Menurut As Suyuthi pembukaan dengan panggilan ini terdapat dalam 10 surat, yakni ditambah dengan Q.S. Al Mumtahanah.
4.      Pembukaan dengan kalimat khabariyah (al istiftah bi al jumal al khabariyah).  Jumlah khabariyah terdapat dalam 23 surah, yaitu : Q.S. At Taubah, Q.S. An Nur, Q.S. Az Zumar, Q.S. Muhammad, Q.S. Al Fath, Q.S. Ar Rahman, Q.S. Al Haaqqah, Q.S. Nuh, Q.S. Al Qodr, Q.S. Al Qori’ah, dan Q.S. Al Kautsar.Q.S. Al Anfal, Q.S. An Nahl, Q.S. Al Qomar, Q.S. Al Mu’minun, Q.S. Al Anbiya, Q.S. Al Mujadalah, Q.S. Al Ma’arij, Q.S. Al Qiyamah, Q.S. Al Balad, Q.S. Abasa, Q.S. Al Bayyinah, Q.S. At Takatsur.
5.      Pembukaan dengan sumpah (al istiftah bil qasam).  Sumpah yang digunakan dalam pembukaan surat-surat Al Qur’an ada empat macam dan terdapat dalam 15 surat.
6.      Pembukaan dengan syarat (al istiftah bis syarat), terdapat dalam 7 surat, yakni : Q.S. At Takwir, Q.S. Al Infithar, Q.S. Al Insiqaq, Q.S. Al Waqi’ah, Q.S. Al Munafiqun, Q.S. Al Zalzajah, dan Q.S. An Nashr.
7.      Pembukaan dengan kata kerja perintah (al istiftah bil amr), terdapat dalam : Q.S. Al Alaq, Q.S. Jin, Q.S. Al Kafirun, Q.S. Al Falaq, dan Q.S. An Nas.
8.      Pembukaan dengan pertanyaan (al istiftah bil istifham).  Bentuk pertanyaan ini ada dua macam, yaitu :
a.       Pertanyaan positif yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat positif. Pertanyaan dalam bentuk ini digunakan dalam 4 surat, yaitu : Q.S. Ad Dahr, Q.S. An Naba, Q.S. Al Ghasyiyah, dan Q.S. Al Maun.
b.      Pertanyaan negatif, yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat negatif, yang hanya terdapat dalam dua surat, yakni : Q.S. Al Insyirah dan Q.S. Al Fill.
9.      Pembukaan dengan do’a (Al Istiftah bid du’a), terdapat dalam 3 surat, yaitu : Q.S. Al Muthaffifin , Q.S. Al Humazah, dan Q.S. Al Lahab.
10.  Pembukaan dengan alasan (al istiftah bit ta’lil).
Pembukaan dengan alasan ini hanya terdapat dalam Q.S. Al Quraisy.
       Setelah huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan-pembukaan surah ini dengan tanpa berulang, berjumlah 14 huruf atau separuh dari jumlah keseluruhan huruf hijaiyah. Karena itu, para mufassir berkata bahwa pembukaan-pembukaan tersebut untuk menunjukkan kepada bangsa Arab akan kelemahan mereka. Meskipun al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf hijaiyah yang mereka kenal, yang sebagiannya datang dalam bentuk satu huruf dan lainnya dalam bentuk yang tersusun dari beberapa huruf, namun mereka tidak mampu membuat kitab yang dapat menandinginya. Hal ini menunjukkan kelemahan mereka di hadapan al-Qur’an.[13]
C.     Pandangan Ulama Tentang Fawatih As-Suwar
       Ketika akan membicarakan fenomena potongan huruf-huruf hijaiyah yang terdapat dalam al-Qur’an, dapat dikatakan bahwa tidak ditemukan orang Arab yang mengenal ataupun menggunakan gaya bahasa seperti itu dalam permulaan ucapan mereka. Begitu juga, kita tidak menemukan satu makna pun bagi huruf-huruf tersebut selain penyebutannya dalam huruf-huruf hijaiyah. Bahkan tak ditemukan satu pun hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah Saw mengenai tafsir huruf-huruf tersebut yang dapat dijadikan pegangan.[14]
Hal inilah yang menjadi pemicu banyaknya pendapat para ulama dan perbedaan sudut pandang di antara mereka tentang penafsiran huruf-huruf tersebut.
      Secara ringkas, pendapat para ulama dapat dikemukakan ke dalam 3 sudut pandang utama, yakni:
1.   Penafsiran yang memandang huruf-huruf tersebut masuk ke dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah SWT.
2.   Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu sebagai singkatan untuk kata-kata atau kalimat tertentu.
3.   Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu bukan merupakan singkatan, tetapi mengajukan sejumlah kemungkinan tentang penafsiran maknanya.[15]              
       Pandangan kelompok pertama yang diwakili oleh para ulama salaf, dalam menyikapi huruf-huruf hijaiyah yang terletak pada awal surah sebagai ayat-ayat mutasyabihat, berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut telah tersusun sejak azali sedemikian rupa, melengkapi segala yang melemahkan manusia dari mendatangkan yang seperti al-Qur’an.[16] Karena kehati-hatiannya, mereka tidak berani memberi penafsiran terhadap huruf-huruf itu, dan berkeyakinan bahwa Allah Swt sendiri yang mengetahui tafsirnya. Hal ini menjadi suatu kewajaran yang berlaku bagi ulama salaf karena mereka dalam hal teologi pun menolak untuk terlibat dalam pembahasan tentang hal-hal yang menurut mereka tidak dapat dilampaui oleh akal manusia.[17]
       Kelompok kedua, yang memandang huruf-huruf hijaiyah pada fawatih al-suwar itu sebagai singkatan untuk kata-kata atau kalimat tertentu, mengajukan penafsiran yang bervariasi tentang kepanjangan huruf-huruf tersebut.
Ibnu Abbas (w. 68 H.), misalnya, diriwayatkan dari padanya bahwa ia berpendapat tentang    الم, Alif menunjuk kepada ana, lam menunjuk kepada Allah dan Mim menunjuk kepada A’lam (u) sehingga maknanya   انا الله أعلم  )Aku adalah Allah lebih mengetahui), adapun   المص adalah dari  انا الله افصّل  (Aku adalah Allah akan menjelaskan segala sesuatu), dan tentang الر     bermakna انا الله أرى  (Aku adalah Allah, Aku melihat).[18]
       Kelompok ketiga, berpendapat bahwa “huruf-huruf potong” yang terdapat pada permulaan sejumlah surah al-Qur’an itu bukanlah singkatan-singkatan untuk kata atau kalimat tertentu. Tetapi sehubungan dengan makna huruf-huruf tersebut, kelompok ini juga mengajukan kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang bervariasi.
Huruf-huruf itu merupakan huruf-huruf misterius yang secara tidak jelas merujuk kepada nama-nama nabi, nama-nama bagi al-Qur’an, dan mana-nama bagi surah yang memuatnya, seperti الم   adalah nama bagi surah al-Baqarah, كهيعص adalah nama bagi surah Maryam, ن adalah nama surah al-Qalam, dan seterusnya. Pendapat ini dipilih oleh kebanyakan ulama kalam, dan sekelompok ulama bahasa, dan dibenarkan oleh Syekh Thusi serta dikuatkan oleh al-Tabari (224-310 H.)[19]
Ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf tersebut merupakan tanda-tanda mistik dengan makna simbolik yang didasarkan pada nilai-nilai numeric alphabet Semitik-Utara, misalnya: الم (1+30+40=71); المص )1+30+40+60=131); الر (1+30+200=231); المر (1+30+40+200=271), dan lain-lain, dimana angka-angka ini menunjukkan usia umat Nabi Muhammad Saw.[20]
Pendapat lain mengemukakan bahwa huruf-huruf itu merupakan tanbih, media untuk membangkitkan perhatian Rasulullah Saw kepada apa yang disampaikan kepadanya di kala beliau dalam keadaaan sibuk misalnya. Demikian yang diungkapkan oleh Khuwaibi.[21]
M. Quraish Shihab, dalam kitab tafsirnya “Al-Misbah” menyatakan bahwa fawatih al-suwar ini merupakan isyarat bahwa kitab suci al-Qur’an ini menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan orang-orang Arab, namun demikian mereka tidak mampu membuat sesuatu yang serupa.[22]
Dari beberapa pandangan atau penafsiran para ulama tersebut maka penulis lebih condong kepada pendapat bahwa fawatih al-suwar ini dimaksudkan untuk menjadi salah satu bukti akan keotentikan, kebenaran dan kemukjizatan al-Qur’an sekaligus untuk menunjukkan kelemahan kaum musyrikin di hadapan al-Qur’an, oleh karena al-Qur’an yang diturunkan dengan memakai huruf-huruf dan bahasa yang mereka kenal bahkan mereka pergunakan sehari-hari akan tetapi mereka tidak mampu bahkan tidak akan pernah mampu sampai kapanpun untuk membuat sesuatu seperti al-Qur’an.
     







[1] Departemen Agama RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, (Semarang : CV Pustaka Agung Harapan, 2006), h.355
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat. (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1994), h. 27.
[3] Departemen Agama RI, op.cit., h.397
[4] Ibid., h.76
[5] Ibid., h.78
[6] A.W Munawwir, Kamus Al-Qur’an Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Edisi Kedua, ditelaah oleh KH. Ali Ma’sum dari KH. Zainal Abidin Munawwir, Cet.XIV, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), h.1030
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Cet. 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 303
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, (Jeddah : Lil al-Taba’ah wa Nasyr wa al-Tauzi,tt), h.7
[9] Issa J. Boullata, Al-Qur’an yang Menakjubkan ,(Tangerang: Lentera Hati, 2008) h. 290-291.
[10]Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar (Cet III., Jakarta: Amzah, 2009), h. 89
[11] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), h. 216.
[12]T.M. Hasbi Al-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Alqur’an: Media-Media Pokok dalam Menafsirkan Alqur’an (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998), h. 124

[13] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 188
[14] Muhammad Baqir Hakim, Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Nashirul Haq, et. al. dengan judul Ulumul Qur’an (Cet. III; Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 652
[15] Taufik Adnan Amal, op.cit., h. 217
[16] T.M. Hasbi Al-Shiddieqy, op.cit., h. 127
[17] H.A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam (tc., Yogyakarta: Mizan, 1993), h. 27
[18]T.M. Hasbi Al-Shiddieqy, op.cit., h. 131
[19] Muhammad Baqir Hakim, op. cit., h. 655.
[20] Taufik Adnan Amal, op. cit., h. 219.
[21]T.M. Hasbi al-Shiddieqy,op. cit., h. 134
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 12 (Cet.VII, Jakarta: Lentera hati, 2007), h. 282